Perkebunan teh Sukabumi Jawa Barat Masa Lalu berhubungan erat dengan perkembangan perkebunan teh. Berawal dari kedatangan Andries Christoffel Johannes de Wilde, seorang berkebangsaan Belanda yang menjelajah di Sukabumi untuk mencari lokasi tanah yang cocok bagi perkebunan teh.
Tanaman teh pertama kali mulai dikenal di Pulau Jawa sekitar tahun 1690, Camphuys, Gubernur Jenderal, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ke-15 menanam teh di halaman rumahnya sebagai tanaman hias untuk kesenangan (hobi).
Usaha pembudidayaan teh mulai dilakukan oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1729. VOC menganggap teh merupakan tanaman produksi yang penting dan menguntungkan.
Hal penting dalam pembudidayaan teh di Hindia Belanda adalah datangnya Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli pencicip teh (expert-theeproever) dari Nederlandsche Handel Maatschappij ke Jawa pada tanggal 2 September 1827. Ketika Jacobson menjadi inspektur budidaya teh, percobaan pembudidayaan teh terus dilakukan di antaranya di daerah Priangan. Afdeeling Sukabumi sebagai bagian dari Preanger Regenschappen, merupakan salah satu daerah percobaan perluasan budidaya teh. Tidak ada keterangan tanggal yang pasti dimulainya budidaya teh di Afdeeling Sukabumi. Namun dapat disimpulkan bahwa munculnya perkebunan teh di Sukabumi sejalan dengan adanya perluasan budidaya teh yang dilakukan Jacobson pada tahun 1835.
Pada tahun 1841 di daerah Priangan terdapat delapan perkebunan teh yaitu Cikajang, Jatinangor, Ciumbuleuit, Parakan Salak, Sinagar, Cisangkan (sekitar Garut), Cicurug dan Rajamandala. Dua di antaranya, yaitu Parakan Salak dan Sinagar merupakan perkebunan teh yang terdapat di Afdeeling Sukabumi.
Perkebunan Parakan Salak disewakan kepada A.W. Holle pada tahun 1862. Kemudian menyusul perkebunan Sinagar dan Cirohani kepada A. Holle
pada tahun 1863. Dengan demikian keluarga Holle merupakan perintis dalam pembudidayaan teh di Afdeeling Sukabumi setelah kebun-kebun teh pemerintah dihapuskan.
Teh dari perkebunan-perkebunan Afdeeling Sukabumi sudah dikenal di pasaran Amsterdam sejak sekitar tahun 1850-an. Dimulai dengan perkebunan Sinagar pada tahun 1848 di bawah merek perusahaannya, menyusul kemudian Parakan Salak pada tahun 1852, keduanya dikenal sebagai teh jawa.
Sesudah tahun 1865 dimulailah masa budi daya teh kedua yang diusahakan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Perluasan budi daya teh memerlukan banyak tenaga dan hal ini dapat berpengaruh buruk terhadap budi daya kopi. Selain itu kesulitan terbesar adalah pengangkutan yang tidak memadai dan mahal. Jalan-jalannya tidak baik sehingga teh harus diangkut di atas punggung kerbau dan kuda atau oleh kuli pikul. Dengan demikian perluasan perkebunan teh menjadi lambat, walaupun demikian hasil awal beberapa perkebunan tidak dapat dikatakan buruk sama sekali.
Misalnya saja pada tahun 1856 Perkebunan Teh Sinagar dengan luas 250 bau menghasilkan 213.000 pon. Namun produksinya tidak stabil, bahkan cepat menurun, hal ini terjadi karena adanya kesalahan-kesalahan cara pemetikan dan pemangkasannya.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) oleh Menteri De Waal dalam tahun 1870 yang memungkinkan pihak swasta mendapat hak guna usaha selama 75 tahun dan kebebasan untuk perluasan perkebunan dengan tidak ada lagi ketergantungan dan izin pegawai-pegawai yang mempunyai kepentingan pada budi daya kopi. Kontrak-kontrak sewa yang ada diubah menjadi hak guna usaha.
Sementara itu L. Baron Van Heeckeren tot Walian, seorang pekebun senior dari S'Gravenhage, mengatakan bahwa masuknya biji-biji teh dari Assam ini terjadi pada tahun 1878, dengan perkebunan Sinagar-Tjirohani (Munjul) yang terletak dekat Cibadak di Afdeeling Sukabumi sebagai pelopornya. A. Holle, direktur dari perkebunan tersebut pada tahun itu menerima sejumlah biji (benih) teh Assam dari John Peet. Biji-biji ini kemudian disebar untuk disemaikan.
Teh jenis Assam dapat tumbuh lebih subur dan produksinya lebih baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kedua, semakin baiknya sarana dan sistem transportasi dari dan ke Afdeeling Sukabumi. Hal ini menguntungkan bagi perkebunan teh yang memerlukan transportasi yang murah dan cepat untuk menjual hasil perkebunannya ke pabrik ataupun ke kota. Beberapa jalur lalu-lintas dibuka dan yang sudah ada diperlebar, misalnya saja pada tahun 1881 dibuka jalur lalu lintas kereta api dari Bogor ke Cicurug dan tahun 1882 Cicurug Sukabumi, Kemudian pada tahun 1883 dibuat jalur Sukabumi-cianjur.
Walaupun sempat tersendat karena pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914. Dalam masa emas 1900 -1914, perkebunan teh di Afdeeling Sukabumi meningkat
kembali dengan pesat. Sampai dengan tahun 1929 harga teh tetap tinggi, demikian pula harga penjualan daun basah. Pembelian atau penjualan daun teh
terbanyak antara tahun 1926 -1940 di dominasi oleh Afdeeling Sukabumi (tahun 1921 sudah menjadi kabupaten). Dari sekian banyak perkebunan teh di
Afdeeling ini ada beberapa perkebunan yang sangat terkenal seperti Perkebunan Teh Parakan Salak, Sinagar Cirohani, Goalpara, Tenjo Ayu, Perbawatie dan
Artana.
1. Parakan Salak, terdiri atas kebun-kebun di atas tanah erfpacht Calorama 1, seluas 688 bau, Calorama II 500 bau, Calorama III 386 bau dan tanah erfpacht Pakuwon sebanyak 208 bau jumlah luas keseluruhan perkebunan adalah 1.782 bau. Letaknya di distrik
Cicurug dilereng Gunung Perbakti dan Gunung Endut, termasuk wilayah vulkanik Gunung Salak. Perkebunan teh Parakan Salak berada di atas ketinggian 2.000 3.000 kaki. Jaraknya lebih kurang 7 paal dari halte kereta api Parung Kuda. Parakan Salak merupakan perkebunan dari Cultuurmaatschappi Parakan Salak
2. Sinagar Cirohani, terdiri atas tiga tanah erfpacht Sinagar Cirohani 1-III, luasnya masing-masing 1.222 bau, 773 bau dan 49 bau, jadi luas seluruhnya 2.044 bau. Perkebunan ini terletak di distrik Ciheulang di lereng Gunung Gede, kurang lebih tiga paal dari Cibadak dan dekat Karang Tengah. Sedangkan Cirohani berada sekitar 1,5 paal dari ParungKuda. Sinagar terletak pada ketinggian 503 meter sedangkan Cirohani pada ketinggian 1.300-1.700 kaki, perkebunan ini milik Cultuurmaatscappij Sinagar-Tjirohani. Administratur Sinagar yang terakhir menurut data tahun 1929 adalah F.W.H. Jacobs, sedangkan Cirohani adalah J.H. Otto. Tanah perkebunan ini dimiliki sebagai erfpacht untuk usaha per perkebunan secara hukum. Mulai pada tahun 1841 sampai dengan akhir tahun 1924 sekitar 638,36 hektar memproduksi teh, 561 hektar tidak berproduksi dan sisanya untuk tanaman hevea.
3. Goalpara, mempunyai banyak tanah (persil) sebagai erfpacht yaitu Sukangangon I, II, III, Cineros I dan II, Pasir Tangkil I dan II, Tangsel I-IV dan Gekbrong (Pasir Pogor I dan II) serta Pasir Kandang Kuda I dan II. Luas masing-masing persil itu berturut-turut adalah 105, 25, 50, 467, 52, 11, 43, 60, 1, 10, 340 dan 61 bau. Keseluruhannya berjumlah 1.225 bau tanah erfpacht,
274 bau tanah sewaan, dan 25 bau merupakan tanah hak opstal. Perkebunan ini terletak di distrik Gunung Parang (kemudian menjadi distrik Sukabumi). Administraturnya O.A. Van Polanel Petel. Perusahaan ini mulai memiliki tanah erpfacht pada 2 Maret 1886, 13 Oktober 1884, 14 Februari 1893, 10 April 1886, 24 Desember 1920, 31 Agustus 1886, 15 Agustus 1914, 12 Januari 1899, 15 Agustus 1914, 27 Februari 1900 dan 15 Agustus 1914. Pada akhir tahun 1927 tanah yang ditanami teh berjumlah 1.158 bau.
4. Tenjo Ayu, Perkebunan ini terletak di distrik Cicurug dilereng Gunung Gede, lebih kurang 1,5 paal dari halte kereta api Cicurug dan berada di atas ketinggian lebih kurang 1.600 kaki. Terdiri atas tanah erfpacht Tenjo-Ayu I dan II yang luasnya masing-masing 257 dan 52 bau. Perkebunan ini juga menerima daun teh dari perkebunan teh rakyat (kampung) Jayasari. Administraturnya D. Van Strelendroft, mulai mempunyai tanah erfpacht yang sah pada 17 Januari 1878 dan 22 Februari 1882. Pada akhir tahun 1915,
sekitar 77 bau ditanami dengan teh assam.
5. Perbawatie, terdiri atas kebun-kebun di tanah erfpacht Sukasari I dan II, Cibunartani, Slabintana I-IV dan Wanasari I dan II. Perkebunan ini terletak di distrik Gunung Parang (Sukabumi) dengan luas keseluruhannya berjumlah 1.114 bau. Letaknya sekitar 7 paal dari Sukabumi, berada di atas ketinggian 2.835-4.350 kaki dari permukaan air laut. Nama perusahaannya adalah Cultuurmaatschappij Perbawatie, dengan administraturnya sebelum depresi ekonomi tahun 1930 adalah N.J. Weelburg. Mulai mempunyai tanah erfpacht secara sah untuk usaha
perkebunan berturut-turut tanggal 12 Juni 1886, 15 September 1887, 4 Oktober 1887, 4 Desember 1884.
Agustus 1888 dan 2 Oktober 1890. Pada akhir tahun 1916 kebun yang khusus ditanami teh seluas lebih kurang 612 bau.
6. Artana (Cibojong); terdiri atas kebun-kebun di tanah erfpacht Artana I-IV, Cikerud, Cirajeg dan pasir Sarongge Perkebunan ini memproduksi teh dan karet, luasnya 1.415 bau, terletak di distrik Jampang Tengah sekitar 26 paal dari Sukabumi, dekat kampung
Cimerang. Berada di atas ketinggian 1.500-3.000 kaki. Perusahaannya bernama Cultuurmaatschappij Artana, administraturnya menurut data tahun 1929 adalah B.K. Hollander. Mulai secara hukum mempunyai erfpacht tanggal 10 Mei 1893, 4 Agustus 1894, 23 November 1896, 11 September 1900, 11 November 1904, 25 September 1907. Di tahun 1927 sekitar 629 bau kebunnya ditanami teh sedangkan sisanya untuk penyemaian benih teh dan perkebunan karet.
Keberadaan Perkebunan teh di Sukabumi menjadi faktor penarik penduduk di sekitar untuk datang ke
Sukabumi. Wilayah ini akhirnya tumbuh dengan sistem hukum dan berkembang ke arah kosmopolitan dan pusat perekonomian. Pemerintah Hindia Belanda juga membangun sejumlah irigasi untuk mengairi kegiatan pertanian di wilayah Sukabumi. Tidak kurang dari tujuh belas talang air melintas di atas jalan raya yang menghubungkan Bogor dengan Cianjur melalui Sukabumi. Bangsa Eropa berlomba datang ke Sukabumi untuk berinvestasi. Kehadiran dan komposisi penduduk Eropa membawa dampak besar dalam perubahan Sukabumi menjadi sebuah gemeente (kotapraja).
Kebijakan Desentralisasi dan perubahan pemerintahan negeri (bestuurshervorming) memberi ruang bagi mereka untuk menjadikan Sukabumi sebagai daerah otonom. Arsip-arsip yang tersedia menunjukkan bahwa geliat kehidupan ekonomi di wilayah Sukabumi dikendalikan dari Kota Sukabumi.